Rabu, 08 Maret 2017

POTRET KUSAM : USWAH DAN KENAKALAN REMAJA


Kenakalan yang Memprihatinkan
‘Makin marak, Remaja kena penyakit kelamin.” Begitu  satu petikan judul rubrik kesehatan, di lembar metropolis, Jawa Pos , tanggal 13/01/2016. Lebih lanjut dr. Dwi Murtiastutik, SpKK, ketua Divisi Infeksi Menular Seksual bidang kedokteran kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya memaparkan bahwa penderita infeksi menular seksual (IMS) tidak lagi didominasi orang dewasa. Setiap hari, rata – rata ada 3 pasien muda (siswa SMP dan SMA) yang datang kepadanya. Data di RSUD Dr. Soetomo, menunjukkan setidaknya ada lebih dari 30 pasien muda yang berobat gara – gara IMS. Bagaimana dengan yang tidak berobat. Tidakkah kasus ini seperti gundukan gunung es?. Jawabannya, jangan serahkan pada rumput yang bergoyang!
Sekelumit petikan warta jawa pos diatas, mungkin bukanlah berita asing yang sampai ke telinga kita. Akhir – akhir ini, berita seputar tauran antar pelajar, siswa yang tertangkap sedang menikmati narkoba, atau  kerap terjerembab dalam kubangan kejahatan,  pencurian dan pemalakan yang pelakukanya tak lain dan tak bukan melibatkan remaja (baca: anak sekolahan) kian intens  menghiasi layar kaca televisi, pemberitaan radio, ataupun surat kabar. Bahkan dalam keseharian kita, peristiwa semacam diatas yang tak tertangkap oleh pemberitaan media, melalui berita lisan dan kasak – kusuk banyak terdengar. Semua bentuk – bentuk perilaku ini merupakan penyimpangan sosial.  Kehadirannya di tengah - tengah masyarakat akan sangat meresahkan dan mencederai  nilai sosial dan tatanan kemasyarakat. Sendi – sendi kehidupan masyarakat akan goyah dan rapuh. Nilai dan norma yang merupakan acuan dan panduan hidup bermasyarakat menjadi tumpul. Kehidupan sosial lumpuh dan tak berdaya.

Akar Penyebab Kenakalan
Secara sosiologis, perilaku – perilaku menyimpang diatas dikenal dengan istilah deviation yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan norma dan nilai yang ada di dalam kehidupan suatu masyarakat. Sedangkan pelaku penyimpangan ini baik individu maupun kelompok disebut deviant.
Dalam pandangan ahli sosiologi, sebab – sebab yang menjadi akar perilaku menyimpang ini ada banyak ragam sudut pandangnya. Ada teori yang mencoba menjelaskan penyimpangan pada interaksi sosial,  dan ada yang berupaya menggali sumber - sumber penyimpangan pada struktur sosial. Bahkah Cesare Lombrosso, seorang kriminolog Italia, menyatakan bahwa akar persoalan perilaku – perilaku tertentu seseorang dikarenakan faktor biologis. Dari ciri – ciri fisik seseorang yang merupakan bawaan sejak lahir sudah bisa diketahui kelak dikemudian hari seseorang tersebut akan berprilaku apa. Teori ini diuraikan dalam bukunya tentang ‘si penjahat sejak lahir.’
Berdasarkan teori pergaulan berbeda (differential association theory) yang diutarakan oleh Edwin H. Sunterland diketahui bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah menyimpang.  Penyimpangan diperoleh melalui proses alih budaya (cultural transmission). Melalui proses ini, seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture).
Berbeda dengan Edwin H. Sunterland, Edwin M. Lemert menegaskan dalam teori label (labelling theory) bahwa seseorang menjadi menyimpang karena proses labelling yang diberikan masyarakat. Maksudnya ialah pemberian julukan, cap, label, merk yang negatif kepada seseorang. Mula – mula seseorang melakukan penyimpangan yang oleh Lemert di namakan penyimpangan primer (primary deviation). Akibatnya, si pelaku lalu dicap sesuai dengan perbuatan menyimpangnya, misalnya, sebagai pencuri, penipu, pemerkosa, orang gila, dan sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap julukan atau cap ini, si pelaku penyimpangan primer kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai penyimpang dan melakukannya secara berulang kali sehingga perbuatan tersebut menjadi penyimpangan sekunder (secondary deviation). Dan akhirnya, orang tersebut akan menganut suatu gaya hidup menyimpang, serta akan menjadi suatu kebiasaan.
Robert K. Merton menguraikan penyebab penyimpangan melalui struktur sosial. menurutnya, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku konformis yang sesuai dengan norma dan nilai sosial tetapi juga menghasilkan perilaku yang tidak mengindahkan norma sosial. Artinya, struktur sosial juga memproduksi pelanggaran terhadap aturan sosial. Dalam struktur sosial terdapat tujuan dan kepentingan. Tujuan tersebut hal – hal yang dianggap pantas dan baik. Selain itu, diatur cara – cara meraih tujuan tersebut. Cara – cara buruk, seperti menipu, merampok, seks di luar nikah dan sebangsanya  tidak dibenarkan karena berada diluar aturan dan cara yang telah ditetapkan. Dan selanjutnya, struktur sosial menghasilkan tekanan ke arah anomie yaitu suatu situasi tanpa kaedah. Situasi demikian dapat menimbulkan sikap mental negatif seperti hal yang terjadi diatas.
  Disamping pemikiran beberapa tokoh sosiologi diatas, pada dasarnya, proses pembentukan perilaku menyimpang secara umum sesungguhnya merupakan hasil proses sosialisasi (belajar) yang tidak sempurna. Proses sosialisasi dianggap tidak berhasil jika individu tidak mampu menginternalisasi nilai dan norma yang ada dalam masyarakat. Orang – orang ini memiliki perasaan tidak bersalah atau menyesal setelah melakukan pelanggaran.

Menimbang Peran keluarga, sekolah, dan media
Meretas persoalan – persoalan diatas memang tak mudah. Namun bila ada upaya, bukan mustahil untuk meminimalisir penyakit sosial ini menjangkiti anak – anak di sekitar kita. Mestinya persoalan kenakalan diatas dapat teruraikan dengan baik, andai saja agen – agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah, dan media massa berjalan seiring memberikan pendidikan, tontonan, dan contoh keteladanan yang dapat menanamkan serta menumbuhkembangkan nilai – nilai positif bagi perkembangan kepribadian anak – anak dan remaja kita. Sayangnya, realitas menunjukkan lain, sungguh jauh panggang dari api.
Pemberitaan massif tentang seks, perkelahian, perampokan, dan kehidupan hedonistik  yang mengumbar nafsuh menjadi bumbu penyedap hampir seluruh media. Media massa dengan vulgar serta dengan segala variannya, utamanya TV, dan internet yang mudah dijangkau anak - anak melalui berbagai alat eloktronik seperti mobile phone lihai sekali menggoda dan menggedor iman pemirsanya. Dan anak – anak yang masih labil secara spikologis dan biologis tersebut gampang terbujuk, terjerembab, rebah dalam gemerlap nafsuh kebendaan. Demi gengsi dan aksi tanpa memfilter dengan mudah meniru segala aksi bejat yang diperolehnya dari bangku televisi dan kongkow – kongkow hasil chatting dan browsing. Media massa menjadi alat yang canggih mengiring anak – anak keluar jauh dari pakem dan kebiasaan nila dan norma di lingkungan masyarakat sekitarnya. Berharap merubah media menjadi sekedar katalis pembawa informasi dan pengembang cakrawala berfikir semata dan sebagai pilar penegak demokrasi adalah ironi yang impossible to be. Media memiliki tujuan dan memilih tuannya sendiri.
Di lingkungan keluarga, persoalan domistik keluarga entah sengaja atau tidak mendera anak. Persoalan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, disharmoni keluarga; pertengkaran dan pertentangan antar orang tua atau orang tua versus anak akan sangat melukai jiwa anak. Anak – anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang akan gugup, minder, dan sulit melakukan interaksi dalam ranah sosial yang lebih luas. Oleh karena itu, fungsi keluarga sebagai media awal dan terdepan dalam membina, mendidik, melatih, dan membiasakan  semua kecakapan sosial yang dibutuhkan anak, harus benar- benar menjelma dalam setiap rumah kita, karena kepada lembaga inilah kita dapat berharap menemukan jalan lapang pencegahan sekaligus penyelesaian persoalan kenakalan diatas, disamping lembaga pendidikan.
Sekolah dengan segala kealfaan dan kekurangannya masih dapat dijadikan lembaga pembinaan mental dan spiritual calon generasi masa depan yang gemilang. Apalagi bila kedua lembaga kemasyarakatan ini (baca sekolah dan keluarga) mampu bersinergi dengan baik, insya Allah akan mengikis penyakit – penyakit sosial yang mengincar anak – anak dan remaja kita. Bagaimana menurut anda? Sekali lagi jawabnya, jangan serahkan kepada rumput yang bergoyang! Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar