Kenakalan
yang Memprihatinkan
‘Makin
marak, Remaja kena penyakit kelamin.” Begitu
satu petikan judul rubrik kesehatan, di lembar metropolis, Jawa Pos ,
tanggal 13/01/2016. Lebih lanjut dr. Dwi Murtiastutik, SpKK, ketua Divisi
Infeksi Menular Seksual bidang kedokteran kulit dan kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya
memaparkan bahwa penderita infeksi menular seksual (IMS) tidak lagi didominasi
orang dewasa. Setiap hari, rata – rata ada 3 pasien muda (siswa SMP dan SMA)
yang datang kepadanya. Data di RSUD Dr. Soetomo, menunjukkan setidaknya ada
lebih dari 30 pasien muda yang berobat gara – gara IMS. Bagaimana dengan yang
tidak berobat. Tidakkah kasus ini seperti gundukan gunung es?. Jawabannya, jangan
serahkan pada rumput yang bergoyang!
Sekelumit
petikan warta jawa pos diatas, mungkin bukanlah berita asing yang sampai ke telinga
kita. Akhir – akhir ini, berita seputar tauran antar pelajar, siswa yang
tertangkap sedang menikmati narkoba, atau kerap terjerembab dalam kubangan
kejahatan, pencurian dan pemalakan yang
pelakukanya tak lain dan tak bukan melibatkan remaja (baca: anak sekolahan)
kian intens menghiasi layar kaca
televisi, pemberitaan radio, ataupun surat kabar. Bahkan dalam keseharian kita,
peristiwa semacam diatas yang tak tertangkap oleh pemberitaan media, melalui
berita lisan dan kasak – kusuk banyak terdengar. Semua bentuk – bentuk perilaku
ini merupakan penyimpangan sosial. Kehadirannya di tengah - tengah masyarakat
akan sangat meresahkan dan mencederai
nilai sosial dan tatanan kemasyarakat. Sendi – sendi kehidupan
masyarakat akan goyah dan rapuh. Nilai dan norma yang merupakan acuan dan
panduan hidup bermasyarakat menjadi tumpul. Kehidupan sosial lumpuh dan tak
berdaya.
Akar Penyebab Kenakalan
Secara
sosiologis, perilaku – perilaku menyimpang diatas dikenal dengan istilah deviation yaitu perilaku yang tidak
sesuai dengan norma dan nilai yang ada di dalam kehidupan suatu masyarakat.
Sedangkan pelaku penyimpangan ini baik individu maupun kelompok disebut deviant.
Dalam
pandangan ahli sosiologi, sebab – sebab yang menjadi akar perilaku menyimpang
ini ada banyak ragam sudut pandangnya. Ada teori yang mencoba menjelaskan
penyimpangan pada interaksi sosial, dan ada
yang berupaya menggali sumber - sumber penyimpangan pada struktur sosial.
Bahkah Cesare Lombrosso, seorang kriminolog Italia, menyatakan bahwa akar
persoalan perilaku – perilaku tertentu seseorang dikarenakan faktor biologis.
Dari ciri – ciri fisik seseorang yang merupakan bawaan sejak lahir sudah bisa
diketahui kelak dikemudian hari seseorang tersebut akan berprilaku apa. Teori
ini diuraikan dalam bukunya tentang ‘si penjahat sejak lahir.’
Berdasarkan
teori pergaulan berbeda (differential
association theory) yang diutarakan oleh Edwin H. Sunterland diketahui
bahwa penyimpangan bersumber dari pergaulan dengan sekelompok orang yang telah
menyimpang. Penyimpangan diperoleh
melalui proses alih budaya (cultural transmission).
Melalui proses ini, seseorang mempelajari suatu subkebudayaan menyimpang (deviant subculture).
Berbeda
dengan Edwin H. Sunterland, Edwin M. Lemert menegaskan dalam teori label (labelling theory) bahwa seseorang
menjadi menyimpang karena proses labelling
yang diberikan masyarakat. Maksudnya ialah pemberian julukan, cap, label, merk
yang negatif kepada seseorang. Mula – mula seseorang melakukan penyimpangan
yang oleh Lemert di namakan penyimpangan primer (primary deviation). Akibatnya, si pelaku lalu dicap sesuai dengan
perbuatan menyimpangnya, misalnya, sebagai pencuri, penipu, pemerkosa, orang
gila, dan sebagainya. Sebagai tanggapan terhadap julukan atau cap ini, si
pelaku penyimpangan primer kemudian mengidentifikasi dirinya sebagai penyimpang
dan melakukannya secara berulang kali sehingga perbuatan tersebut menjadi
penyimpangan sekunder (secondary
deviation). Dan akhirnya, orang tersebut akan menganut suatu gaya hidup
menyimpang, serta akan menjadi suatu kebiasaan.
Robert
K. Merton menguraikan penyebab penyimpangan melalui struktur sosial.
menurutnya, struktur sosial bukan hanya menghasilkan perilaku konformis yang sesuai
dengan norma dan nilai sosial tetapi juga menghasilkan perilaku yang tidak
mengindahkan norma sosial. Artinya, struktur sosial juga memproduksi
pelanggaran terhadap aturan sosial. Dalam struktur sosial terdapat tujuan dan
kepentingan. Tujuan tersebut hal – hal yang dianggap pantas dan baik. Selain
itu, diatur cara – cara meraih tujuan tersebut. Cara – cara buruk, seperti
menipu, merampok, seks di luar nikah dan sebangsanya tidak dibenarkan karena berada diluar aturan
dan cara yang telah ditetapkan. Dan selanjutnya, struktur sosial menghasilkan
tekanan ke arah anomie yaitu suatu
situasi tanpa kaedah. Situasi demikian dapat menimbulkan sikap mental negatif
seperti hal yang terjadi diatas.
Disamping
pemikiran beberapa tokoh sosiologi diatas, pada dasarnya, proses pembentukan
perilaku menyimpang secara umum sesungguhnya merupakan hasil proses sosialisasi
(belajar) yang tidak sempurna. Proses sosialisasi dianggap tidak berhasil jika
individu tidak mampu menginternalisasi nilai dan norma yang ada dalam
masyarakat. Orang – orang ini memiliki perasaan tidak bersalah atau menyesal
setelah melakukan pelanggaran.
Menimbang Peran keluarga, sekolah, dan media
Meretas
persoalan – persoalan diatas memang tak mudah. Namun bila ada upaya, bukan
mustahil untuk meminimalisir penyakit sosial ini menjangkiti anak – anak di
sekitar kita. Mestinya persoalan kenakalan diatas dapat teruraikan dengan baik,
andai saja agen – agen sosialisasi seperti keluarga, sekolah, dan media massa berjalan
seiring memberikan pendidikan, tontonan, dan contoh keteladanan yang dapat
menanamkan serta menumbuhkembangkan nilai – nilai positif bagi perkembangan
kepribadian anak – anak dan remaja kita. Sayangnya, realitas menunjukkan lain, sungguh
jauh panggang dari api.
Pemberitaan
massif tentang seks, perkelahian, perampokan, dan kehidupan hedonistik yang mengumbar nafsuh menjadi bumbu penyedap hampir
seluruh media. Media massa dengan vulgar serta dengan segala variannya,
utamanya TV, dan internet yang mudah dijangkau anak - anak melalui berbagai
alat eloktronik seperti mobile phone lihai sekali menggoda dan menggedor iman
pemirsanya. Dan anak – anak yang masih labil secara spikologis dan biologis
tersebut gampang terbujuk, terjerembab, rebah dalam gemerlap nafsuh kebendaan.
Demi gengsi dan aksi tanpa memfilter dengan mudah meniru segala aksi bejat yang
diperolehnya dari bangku televisi dan kongkow – kongkow hasil chatting dan
browsing. Media massa menjadi alat yang canggih mengiring anak – anak keluar jauh
dari pakem dan kebiasaan nila dan norma di lingkungan masyarakat sekitarnya.
Berharap merubah media menjadi sekedar katalis pembawa informasi dan pengembang
cakrawala berfikir semata dan sebagai pilar penegak demokrasi adalah ironi yang
impossible to be. Media memiliki
tujuan dan memilih tuannya sendiri.
Di
lingkungan keluarga, persoalan domistik keluarga entah sengaja atau tidak mendera
anak. Persoalan ekonomi, kekerasan dalam rumah tangga, disharmoni keluarga; pertengkaran
dan pertentangan antar orang tua atau orang tua versus anak akan sangat melukai
jiwa anak. Anak – anak yang kurang mendapat perhatian dan kasih sayang akan
gugup, minder, dan sulit melakukan interaksi dalam ranah sosial yang lebih
luas. Oleh karena itu, fungsi keluarga sebagai media awal dan terdepan dalam
membina, mendidik, melatih, dan membiasakan semua kecakapan sosial yang dibutuhkan anak,
harus benar- benar menjelma dalam setiap rumah kita, karena kepada lembaga
inilah kita dapat berharap menemukan jalan lapang pencegahan sekaligus
penyelesaian persoalan kenakalan diatas, disamping lembaga pendidikan.
Sekolah
dengan segala kealfaan dan kekurangannya masih dapat dijadikan lembaga pembinaan
mental dan spiritual calon generasi masa depan yang gemilang. Apalagi bila
kedua lembaga kemasyarakatan ini (baca sekolah dan keluarga) mampu bersinergi
dengan baik, insya Allah akan mengikis penyakit – penyakit sosial yang
mengincar anak – anak dan remaja kita. Bagaimana menurut anda? Sekali lagi
jawabnya, jangan serahkan kepada rumput yang bergoyang! Wallahu a’lam.